Radar Madura Jawa Pos
[ Rabu, 24 September 2008 ]
Triono Riyanto SPd, Guru dan Pembimbing Seni Rupa Anak Usia Dini dari Bangkalan
Lukis Picu Kreatifitas Anak Usia Dini
Bangsa ini bukan hanya membutuhkan orang pintar dari segi akademik. Tetapi juga membutuhkan generasi yang kreatif dalam berpikir. Media lukis bisa menjadi salah satu wadah untuk melatih kreatifitas tersebut. Hanya, masih banyak yang belum memahaminya sebagai kebutuhan.
Apa yang membuat anda tertarik terjun ke dunia lukis anak-anak?
Saya kebetulan memang suka melukis sejak duduk di bangku sekolah dasar. Alhamdulillah banyak prestasi yang saya raih dari hobi saya itu. Nah, alasan saya terjun ke seni rupa anak adalah untuk meningkatkan kreatifitas anak. Sebab, selama ini saya lihat kreatifitas anak di bidang lukis lebih banyak diarahkan untuk memenangkan lomba. Sehingga, anak-anak menjadi kurang kreatif dan membatasi diri dalam menuangkan ide-idenya.
Padahal, untuk anak usia dini, play group sampai TK atau pun SD masih sangat polos dan memiliki ide-ide yang sangat natural. Mengarahkan mereka pada kemiripan bentuk berarti membatasi ide alami mereka.
Maksudnya?
Pada usia dini, anak-anak harus diberi penghargaan atas hasil kreasi mereka yang dituangkan melalui media gambar atau lukisan. Sebab, gambar atau lukisan anak-anak itu sebenarnya adalah cara mereka menuangkan sesuatu yang ada di pikiran mereka. Mereka bisa bercerita melalui gambar yang mereka buat. Artinya, tidak mementingkan kemiripan pada sebuah objek, melainkan mengetahui maksud apa yang hendak mereka tuangkan. Bagus atau jeleknya jangan dinilai dari kacamata orang dewasa, tetapi pada anak yang menggambarnya.
Kalau terus-terusan disalahkan karena tidak mirip, anak usia 9 sapai 12 tahun justru akan malas berkreasi lagi. Saya banyak menemukan gambar-gambar anak didik saya yang tidak proporsional. Kepala besar dengan badan yang kecil dan sebagainya. Tapi penjelasan mereka yang polos benar-benar bisa membuat gambar itu hidup dalam imajinasi mereka.
Apakah ada pengaruhnya bagi perkembangan anak?
Tentu ada pengaruhnya. Selama ini yang memahami hal itu hanya para orang tua yang secara ekonomi cukup mampu. Mereka (orang tua anak, Red) kan paham, selain kebutuhan akademik, soft skill seperti peningkatan kreatifitas juga sangat dibutuhkan untuk masa depan. Orang bisa memerlakukan seni lukis sebagai media rekreasi dan menuangkan apapun dalam gambar. Inilah yang saya cari dari anak-anak bimbing saya. Mereka yang ingin melanjutkan biasanya selalu minta masukan untuk memerbaiki hasil karya mereka. Bimbingan diberikan dengan cara yang halus juga, bukan dengan memberikan penilaian negatif pada hasil karya mereka.
Apakah ide dan kreatifitas anak memiliki kemiripan satu dengan yang lainnya?
Yang saya perhatikan sejak tahun 2002 sampai sekarang, dari 500 anak yang sudah keluar masuk bimbingan saya, tidak satupun memiliki ide sama. Sebab, mereka dibiarkan berkreasi sendiri. Kalau diberi batasan mungkin akan banyak kesamaan, atau justru sama semua hasil karyanya.
Yang ada di dinding rumah saya ini adalah beberapa contoh hasil karya anak-anak. Bentuknya memang aneh dan jelek kalau dinilai secara dewasa, tetapi di mata anak-anak gambar itu bagus dan menggambarkan apa yang dia pikirkan.
Seberapa besar ketertarikan masyarakat untuk membuat anak-anak mereka kreatif dengan cara itu ?
Seperti saya katakan di muka, masih terbatas. Padahal ini baik untuk perkembangan anak. Yang saya pahami, metode saya ini memang kurang popular. Maksudnya, orang tua akan lebih memilih anaknya dibimbing agar bisa melukis secara professional dan diarahkan untuk memenangkan perlombaan. Padahal, mematok kreatifitas anak untuk bisa memenangkan lomba jelas membuat anak menjadi kurang kreatif.
Lalu, bagaimana cara meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hal itu ?
Saya sendiri memulainya dengan merangkul mereka (masyarakat, Red.) dengan cara membuka seluas-luasnya kesempatan untuk memasukkan anak-anaknya ke galeri lukis saya, Komunitas Magenta. Saya sampaikan pada mereka tentang apa yang disampaikan oleh psikolog anak Rose Mini.
Dia menjelaskan, anak tidak akan bisa menikmati kehidupan mereka dengan wajar selama masih dikekang oleh aturan-aturan yang kaku. Tidak dapat mengutarakan sikap dan pendapat, selalu harus tunduk dan patuh atas segala kesepakatan orang tua yang dibuat secara sepihak tanpa memikirkan kepentingan anak.
Sampai sekarang saya juga sudah empat kali melaksanakan pameran hasil lukis anak-anak untuk mengenalkan asyiknya kebebasan anak dalam berkekspresi. Harapannya agar masyarakat paham dan mengerti bahwa masa kanak-kanak memerlukan kebebasan berekspresi dan kebebasan itu akan sangat berpengaruh pada prestasinya kelak.
Selain itu, apalagi yang bisa mendukung pemahaman masyarakat ?
Pemerintah mungkin juga perlu paham tentang pentingnya kreatifas pada anak. Negeri ini perlu diisi oleh orang pintar dan kreatif, nah memupuk kreatifitas itu bisa sejak dini. Caranya mungkin dengan menambah guru seni rupa di sekolah-sekolah.
Siswa kan tidak hanya butuh pengetahuan akademik, olahraga atau pendidikan agama saja, saya yakin mereka juga butuh media untuk mengekspresikan kemampuan mereka di bidang lain.
Saya lihat selama ini kan pemerintah kurang memahami itu. Padahal, lewat seni rupa seseorang bisa dilatih kreatif, dan yang sudah kreatif bisa lebih digali lagi kemampuannya. Kepercayaan diri dengan sendirinya akan tertanam di sana. Jadi, bisa juga dipakai untuk mengatasi krisis percaya diri yang selama ini cukup kita rasakan dan memrihatinkan.
Sebab, kalau generasi tidak percaya diri, mereka akan cenderung monoton, malu mencoba dan malas berbuat karena selalu berpikir negatif pada diri sendiri. Bahayanya lagi, kalau sampai terjerumus pada obat-obatan untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka. Kan sudah banyak kita lihat di televisi, anak-anak yang terjerumus ke lembah narkoba. Alasannya selalu untuk meningkatkan percaya diri. (nra/ed)
Bangsa ini bukan hanya membutuhkan orang pintar dari segi akademik. Tetapi juga membutuhkan generasi yang kreatif dalam berpikir. Media lukis bisa menjadi salah satu wadah untuk melatih kreatifitas tersebut. Hanya, masih banyak yang belum memahaminya sebagai kebutuhan.
Apa yang membuat anda tertarik terjun ke dunia lukis anak-anak?
Saya kebetulan memang suka melukis sejak duduk di bangku sekolah dasar. Alhamdulillah banyak prestasi yang saya raih dari hobi saya itu. Nah, alasan saya terjun ke seni rupa anak adalah untuk meningkatkan kreatifitas anak. Sebab, selama ini saya lihat kreatifitas anak di bidang lukis lebih banyak diarahkan untuk memenangkan lomba. Sehingga, anak-anak menjadi kurang kreatif dan membatasi diri dalam menuangkan ide-idenya.
Padahal, untuk anak usia dini, play group sampai TK atau pun SD masih sangat polos dan memiliki ide-ide yang sangat natural. Mengarahkan mereka pada kemiripan bentuk berarti membatasi ide alami mereka.
Maksudnya?
Pada usia dini, anak-anak harus diberi penghargaan atas hasil kreasi mereka yang dituangkan melalui media gambar atau lukisan. Sebab, gambar atau lukisan anak-anak itu sebenarnya adalah cara mereka menuangkan sesuatu yang ada di pikiran mereka. Mereka bisa bercerita melalui gambar yang mereka buat. Artinya, tidak mementingkan kemiripan pada sebuah objek, melainkan mengetahui maksud apa yang hendak mereka tuangkan. Bagus atau jeleknya jangan dinilai dari kacamata orang dewasa, tetapi pada anak yang menggambarnya.
Kalau terus-terusan disalahkan karena tidak mirip, anak usia 9 sapai 12 tahun justru akan malas berkreasi lagi. Saya banyak menemukan gambar-gambar anak didik saya yang tidak proporsional. Kepala besar dengan badan yang kecil dan sebagainya. Tapi penjelasan mereka yang polos benar-benar bisa membuat gambar itu hidup dalam imajinasi mereka.
Apakah ada pengaruhnya bagi perkembangan anak?
Tentu ada pengaruhnya. Selama ini yang memahami hal itu hanya para orang tua yang secara ekonomi cukup mampu. Mereka (orang tua anak, Red) kan paham, selain kebutuhan akademik, soft skill seperti peningkatan kreatifitas juga sangat dibutuhkan untuk masa depan. Orang bisa memerlakukan seni lukis sebagai media rekreasi dan menuangkan apapun dalam gambar. Inilah yang saya cari dari anak-anak bimbing saya. Mereka yang ingin melanjutkan biasanya selalu minta masukan untuk memerbaiki hasil karya mereka. Bimbingan diberikan dengan cara yang halus juga, bukan dengan memberikan penilaian negatif pada hasil karya mereka.
Apakah ide dan kreatifitas anak memiliki kemiripan satu dengan yang lainnya?
Yang saya perhatikan sejak tahun 2002 sampai sekarang, dari 500 anak yang sudah keluar masuk bimbingan saya, tidak satupun memiliki ide sama. Sebab, mereka dibiarkan berkreasi sendiri. Kalau diberi batasan mungkin akan banyak kesamaan, atau justru sama semua hasil karyanya.
Yang ada di dinding rumah saya ini adalah beberapa contoh hasil karya anak-anak. Bentuknya memang aneh dan jelek kalau dinilai secara dewasa, tetapi di mata anak-anak gambar itu bagus dan menggambarkan apa yang dia pikirkan.
Seberapa besar ketertarikan masyarakat untuk membuat anak-anak mereka kreatif dengan cara itu ?
Seperti saya katakan di muka, masih terbatas. Padahal ini baik untuk perkembangan anak. Yang saya pahami, metode saya ini memang kurang popular. Maksudnya, orang tua akan lebih memilih anaknya dibimbing agar bisa melukis secara professional dan diarahkan untuk memenangkan perlombaan. Padahal, mematok kreatifitas anak untuk bisa memenangkan lomba jelas membuat anak menjadi kurang kreatif.
Lalu, bagaimana cara meningkatkan kesadaran masyarakat untuk hal itu ?
Saya sendiri memulainya dengan merangkul mereka (masyarakat, Red.) dengan cara membuka seluas-luasnya kesempatan untuk memasukkan anak-anaknya ke galeri lukis saya, Komunitas Magenta. Saya sampaikan pada mereka tentang apa yang disampaikan oleh psikolog anak Rose Mini.
Dia menjelaskan, anak tidak akan bisa menikmati kehidupan mereka dengan wajar selama masih dikekang oleh aturan-aturan yang kaku. Tidak dapat mengutarakan sikap dan pendapat, selalu harus tunduk dan patuh atas segala kesepakatan orang tua yang dibuat secara sepihak tanpa memikirkan kepentingan anak.
Sampai sekarang saya juga sudah empat kali melaksanakan pameran hasil lukis anak-anak untuk mengenalkan asyiknya kebebasan anak dalam berkekspresi. Harapannya agar masyarakat paham dan mengerti bahwa masa kanak-kanak memerlukan kebebasan berekspresi dan kebebasan itu akan sangat berpengaruh pada prestasinya kelak.
Selain itu, apalagi yang bisa mendukung pemahaman masyarakat ?
Pemerintah mungkin juga perlu paham tentang pentingnya kreatifas pada anak. Negeri ini perlu diisi oleh orang pintar dan kreatif, nah memupuk kreatifitas itu bisa sejak dini. Caranya mungkin dengan menambah guru seni rupa di sekolah-sekolah.
Siswa kan tidak hanya butuh pengetahuan akademik, olahraga atau pendidikan agama saja, saya yakin mereka juga butuh media untuk mengekspresikan kemampuan mereka di bidang lain.
Saya lihat selama ini kan pemerintah kurang memahami itu. Padahal, lewat seni rupa seseorang bisa dilatih kreatif, dan yang sudah kreatif bisa lebih digali lagi kemampuannya. Kepercayaan diri dengan sendirinya akan tertanam di sana. Jadi, bisa juga dipakai untuk mengatasi krisis percaya diri yang selama ini cukup kita rasakan dan memrihatinkan.
Sebab, kalau generasi tidak percaya diri, mereka akan cenderung monoton, malu mencoba dan malas berbuat karena selalu berpikir negatif pada diri sendiri. Bahayanya lagi, kalau sampai terjerumus pada obat-obatan untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka. Kan sudah banyak kita lihat di televisi, anak-anak yang terjerumus ke lembah narkoba. Alasannya selalu untuk meningkatkan percaya diri. (nra/ed)
Radar Madura
[ Rabu, 24 September 2008 ]
Rindu Memancing Kepiting dan Bermain Sepak Bola
Tinggal dan menetap di Surabaya tidak menghilangkan kenangan masa kecil Triono Riyanto. Kesenangannnya di kampung halaman sesekali terbayang di benaknya. Dan itu menimbulkan keinginan untuk melakukannya kembali. Semisal, memancing kepiting (mentor) di tambak dan bermain sepak bola di tanah kosong. Termasuk kerinduannya pada teman sepermainan dan sekolahnya.
HASIL karya murid-murid sekolah dan les privat melukis pria kelahiran Bangkalan, 1 Oktober 1974 ini, banyak menghiasi dinding rumah pribadinya di Menganti Permai C4/46, Surabaya. Sebagian lukisan dan ilustrasi hasil kreasinya juga dipajang di antara lukisan anak-anak asuhnya tersebut. Ilustrasi-ilustrasinya tersebut telah banyak dimuat oleh banyak Koran terkemuka di Surabaya.
Pria yang akrab disapa Triono ini telah menetap di Surabaya sejak 1994 silam. Sebelumnya, usai lulus sekolah tingkat atas di Bangkalan, dia menuntut ilmu seni di Jogjakarta, Institut Seni Indonesia (ISI). Namun, karena ada masalah, dia terpaksa menghentikan kuliahnya di ISI Jogjakarta tersebut. Tak lama kemudian, dia melanjutkan kuliahnya di IKIP Surabaya yang sekarang telah berubah nama menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Lama tinggal di Surabaya, dia mengaku banyak kehilangan kenangan di masa kecilnya. Dia juga mengungkapkan kerinduannya pada hobi yang dijalani di kampung halamannya, kampung Kemayoran, Bangkalan.
"Saya benar-benar sangat merindukan memancing kepiting di tambak. Dulu, setiap pulang sekolah saya selalu menghabiskan waktu untuk memancing kepiting di tambak. Tepat di depan rumah saya kan banyak tambak. Sekarang kelihatannya sudah banyak jadi pemukiman," ungkapnya.
Kegemarannya memancing kepiting sudah banyak diketahui teman-temannya. Jika tidak sedang di rumah pada siang hari, teman-temannya akan langsung mencarinya di tambak. Di antara teman-temannya itu, sebagian langsung bergabung dengan Triono memancing kepiting. Sebagian lainnya hanya sekedar menonton dan ikut girang apabila salah seorang temannya berhasil mendapatkan kepiting di pentor-nya (mata pancingnya).
"Setelah dewasa banyak hal yang saya sadari dari kegemaran saya dan teman-teman memancing kepiting," ujarnya.
Menurut dia, memancing kepiting sebenarnya bukanlah hal yang mudah dilakukan. Butuh ketelatenan dan kesabaran. Sebab, proses untuk akhirnya mendapatkan beberapa ekor kepiting membutuhkan usaha dan keberanian.
Untuk memancing kepiting, Triono -yang dimasa kecilnya disapa Nono ini, terlebih dahulu harus mendapatkan umpan yang disukai oleh makhluk pencapit tersebut. Umpan itu hanya bisa dia dapatkan di laut, atau di sekitar tambak. Caranya, dengan mencari dan menangkapnya begitu terlihat di sungai atau pinggiran tambak. Atau, dengan memasukkan tangannya ke dalam lubang-lubang kecil, rumah kepiting sungai yang sangat ampuh untuk dijadikan umpan menangkap kepiting ukuran besar.
"Jadi, memancing kepiting itu benar-benar harus didahului usaha. Meski di bawah terik matahari, tapi saya dan teman-teman dari Kemayoran waktu itu sangat gembira," katanya mengenang masa kecil bersama teman-temannya.
Hasil memancing tak selalu menggembirakan. Namun, tetap menjadi kenikmatan tersendiri ketika menyantapnya dengan teman-teman atau pun keluarganya di rumah. "Kalau dapat 10 ekor kepiting saja kan lumayan dibikin kare untuk dinikmati keluarga. Teman-teman juga seringkali menikmati hasil tangkapan bersama di rumah saya," tambahnya.
Teman-teman Triono masa kecil tak jarang merayunya berhenti memancing kepiting dan mengajaknya bermain sepak bola di lahan kosong. Dia menggambarkan, sebelum terdapat rumah-rumah penduduk, di kanan kiri lapangan balap kuda Kemayoran, sering menjadi tempatnya memainkan si kulit bundar itu. Meski bertelanjang kaki, bermain bola bersama teman-teman terasa mangasyikkan baginya. Apalagi, jika hasil tangkapan kepitingnya sudah cukup banyak.
"Saya benar-benar merindukan masa-masa itu. Sekarang kan sudah sibuk bekerja, cari nafkah untuk keluarga. Tapi, setiap kali pulang ke Madura mengunjungi keluarga, saya menyempatkan diri untuk sekadar berkeliling kampung dan melihat beberapa perubahan di lingkungan tempat saya dibesarkan," tuturnya. Teman-temannya, imbuhnya, juga sudah banyak yang berkeluarga dan hijrah ke daerah lain meninggalkan kampung halamannya.
Sementara itu, dia juga banyak menemukan hal baru di lingkungan hidupnya sekarang. Meski banyak perbedaan dengan apa yang dia lalui di halamannya, dia mengaku tetap bisa bertahan dalam kondisi tersebut. "Membandingkan dengan Madura, Surabaya jelas berbeda. Contohnya pola sosialisasi dan interaksi masyarakatnya. Di sini (Surabaya, Red.) kan semua orang sibuk mencari materi," terangnya. (nra/ed)